Minggu, 28 April 2013

Hubungan kejahatan dengan pemerintah



Sistem dalam Negara

            Negara baru bisa berjalan dan berfungsi jika secara simultan dan komplementer menjalankan berbagai sistem yang secara inklusif dan eksklusif memang merupakan kewenangan dan porsi negara untuk menjalankannya. Sistem tersebut adalah sistem politik, sistem ekonomi, serta sistem hukum. Masih menjadi perdebatan, apakah terkait sistem-sistem lain, negara juga memiliki kewenangan dan porsi sebesar tiga sistem sebelumnya; katakanlah menyangkut sistem sosial, sistem budaya, sistem adat (ada pula yang menyatukannya dengan sistem budaya), sistem agama, sistem keamanan,  serta sistem perilaku (terdapat kalangan yang tidak menyetujui penyebutan tentang hal ini). Khusus mengenai sistem politik dan sistem ekonomi sendiri, ada yang menyebutnya sebagai sistem ketatanegaraan serta sistem moneter.
            Mengapa disebut sistem, karena pada dasarnya terjadi proses pengolahan atas inputguna menjadi output yang dikehendaki dan, setelah memasuki tingkatan dampak, akan kembali menjadi sumber input. Dalam konteks tersebut, maka sistem politik dapat dikatakan merupakan sistem yang mengolah variabel-variabel yang diperlukan dalam rangka dihasilkannya suatu keputusan, kebijakan, atau tindakan politik tertentu. Adapun pengolahnya adalah para partisipan yang aktif dalam sistem politik seperti pemerintah yang berkuasa, parlemen, partai politik, maupun individu ataupun lembaga yang biasa dikelompokkan menjadi entah itu kelompok pengawas (oversight group) kelompok penekan (pressure group), atau kelompok kepentingan (interest group).
            Terkait sistem ekonomi, maka partisipannya adalah pemerintah itu sendiri, parlemen, komisi persaingan usaha, pasar, asosiasi-asosiasi terkait berbagai bidang usaha dan usahawan, pemodal, maupun masyarakat konsumen itu sendiri. Mereka berinteraksi dalam suatu sistem ekonomi dan menghasilkan keluaran berupa.
            Terkait sistem hukum, yang dilihat adalah berbagai proses dan interaksi dalam rangka pembentukan, evaluasi, dan penerapan hukum seiring dengan niatan melakukan kriminalisasi atau dekriminalisasi terkait perilaku tertentu. Hal tersebut dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian, berbagai komisi yang terkait dengan hukum, parlemen, media massa, serta masyarakat sendiri selaku subjek hukum.
            Tentu saja, dalam rangka pergulatan atau interaksi dalam ketiga sistem tersebut, selalu akan terjadi situasi menang-kalah, berhasil-gagal, terpenuhi-tidak terpenuhinya aspirasi serta kepentingannya, dilanjutkan dengan timbulnya perasaan seperti senang-sedih, jengkel-bangga, dan sebagainya. Meskipun demikian, apabila yang muncul justru perasaan sebagai korban (felt victimized), maka ada kemungkinan proses atau interaksi dalam sistem tersebut sebenarnya berlangsung tidak transparan (sehingga banyak hal menjadi tidak terbuka), curang, tidak etis, tidak adil atau diskriminatif, ataupun telah direkayasa agar berakhir dengan hasil tertentu yang dikehendaki.

Kejahatan Terhadap Penyimpangan
Kejahatan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu sebagai pelanggaran terhadap hukum pidana atau hukum lainnya yang ditetapkan oleh negara, dan secara sosiologis kejahatan dipandang sebagai setiap tindakan yang dianggap melukai secara sosial dan yang dipidana oleh negara apa pun bentuk pidananya. Para kriminolog menganggap pendefinisian kejahatan tidak hanya dalam pengertian hukum saja, tetapi lebih luas lagi yaitu sebagai setiap tindakan yang dapat dipidana oleh negara, terlepas apakah pinada kejahatan atau administrasi atau umum.
Para kriminolog membedakan antara kejahatan hukum adat/kejahatan konvensional (Common law Crime), kejahatan kerah putih (white collar crime dan kejahatan remaja (adolescent crime). Cammen lan corine adalah kejahatan yagn dianggap oleh semua orang sbagai kejahatan misalnya pembunuhan, perkosaan, perampokan, dan penyerangan. Sedangkan Occupational crime/white collar crime adalah kejahatan umum oleh orang-orang dari kalangan bisnis, pekerja, politikus, dan lain-lain dalam hubungannya dengan okopasi (pekerjaan) mereka. Pelaku kejahatan yang berusia di bawah 18 tahun biasanya dianggap sebagai seorang juvenile delinquent, bukan penjahat. Pelanggaran yang mereka lakukan berkisar sekitar ketidakdisiplinan, lari dari Rumah dan membolos sekolah.
Korupsi merupakan salah satu pelanggaran kejahatan yang di lakukan oleh pemerintah
korupsi merupakan salah satu elemen yang turut memberikan kontribusi bagi terjadinya keterbelakangan dan buruknya kinerja ekonomi Indonesia, sekaligus merupakan salah satu penghambat utama bagi pembangunan dan upaya pengentasan kemiskinan.
a. Faktor Penyebab Korupsi
   Faktor penyebab korupsi yang paling signifikan di daerah adalah faktor politik dan kekuasaan, dalam arti bahwa korupsi di daerah paling banyak dilakukan oleh para pemegang kekuasaan (eksekutif maupun legislatif) yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan kelompok dan golongannya.
   Faktor yang kedua adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi ini tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan faktor politik dan kekuasaan. Alasannya pun cenderung masih konvensional, yaitu tidak seimbangnya penghasilan dengan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.
    Faktor yang ketiga adalah nepotisme. Masih kentalnya semangat nepotisme, baik di sektor publik maupun swasta, di daerah-daerah terutama dalam penempatan posisi yang strategis tidak jarang kemudian menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, terutama yang bersangkut paut dengan keuangan negara.
Faktor yang terakhir adalah faktor pengawasan. Lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga, seperti BPKP maupun Bawasda terhadap penggunaan keuangan negara oleh pejabat-pejabat publik (eksekutif maupun legislatif) merupakan salah satu faktor penting yang turut menumbuh-suburkan budaya korupsi di daerah-daereah. Fungsi kontrol yang semestinya dijalankan oleh lembaga legislatif pun pada kenyataannya seringkali tidak efektif, yang disebabkan karena lembaga legislatif itu sendiri pun seringkali terlibat dalam penyimpangan dan penyalahgunaan keuangan negara yang dilakukan oleh eksekutif.
b. Masalah-Masalah Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi
    UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime—Kantor PBB Untuk Masalah Obat-Obatan Terlarang dan Tindak Kejahatan) mengemukakan bahwa setidak-tidaknya ada empat kendala atau “berita buruk” (bad news) bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia, termasuk di Indonesia dan daerah-daerah. Berita buruk yang pertama adalah kurangnya dana yang diinvestasikan pemerintah untuk program pemberantasan korupsi. Berita buruk yang kedua adalah kurangnya bantuan yang diberikan oleh negara-negara donor bagi program pemberantasan korupsi.
Berita buruk yang ketiga adalah kurangnya pengetahuan dan pengalaman aparat-aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Dan, berita buruk yang keempat adalah rendahnya insentif dan gaji para pejabat publik.Diluar masalah-masalah di atas, ada pula beberapa hal lain yang turut menghambat upaya pemberantasan korupsi di daerah. Diantara kelemahan-kelemahan tersebut adalah: (i) tidak jelasnya pembagian kewenangan antara jaksa, polisi dan KPK dan tidak adanya prinsip pembuktian terbalik dalam kasus korupsi; (ii) lemahnya dan tidak jelasnya mekanisme perlindungan saksi, sehingga seseorang yang dianggap mengetahui bahwa ada penyelewengan di bidang keuangan tidak bersedia untuk dijadikan saksi/memberikan kesaksian.Hambatan yang kedua berkaitan dengan kurangnya transparansi lembaga eksekutif dan legislatif terhadap berbagai penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Mekanisme pemeriksaan terhadap pejabat–pejabat eksekutif dan legislatif juga terkesan sangat birokratis, terutama apabila menyangkut izin pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat yang terindikasi korupsi. Hambatan yang ketiga berkaitan dengan integritas moral aparat penegak hukum serta ketersediaan sarana dan prasarana penunjang keberhasilan mereka dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Hambatan yang keempat berkaitan dengan masalah kultur/budaya, dimana sebagian masyarakat telah memandang korupsi sebagai sesuatu yang lazim dilakukan secara turun-temurun, disamping masih kuatnya budaya enggan untuk menerapkan budaya malu.
c. Cara Menanggulangi Korupsi Menurut saya :
   Proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim), khususnya berkenaan dengan perkara korupsi di daerah-daerah dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Menurut saya untuk mengatasi permasalahan tersebut, bahwa setidak-tidaknya ada empat strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi intensitas korupsi di daerah, yaitu:
1. Memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan proses birokrasi yang bernuansa primordial di kalangan penentu kebijakan, baik itu yang berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sehingga tata kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan profesional serta dilaksanakan dengan pertimbangan profesionalisme dan integritas moral yang tinggi;
2. Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara tegas, adil dan konsekuen tanpa ada diskriminasi bagi para pelaku korupsi, dalam arti bahwa prinsip-prinsip negara hukum benar-benar harus diterapkan secara tegas dan konsekuen, terutama prinsip equality before the law;
3. Para penentu kebijakan, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang penegakan hukum harus memiliki kesamaan visi, profesionalisme, komitmen, tanggungjawab dan integritas moral yang tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar