Minggu, 28 April 2013

Hubungan kejahatan dengan pemerintah



Sistem dalam Negara

            Negara baru bisa berjalan dan berfungsi jika secara simultan dan komplementer menjalankan berbagai sistem yang secara inklusif dan eksklusif memang merupakan kewenangan dan porsi negara untuk menjalankannya. Sistem tersebut adalah sistem politik, sistem ekonomi, serta sistem hukum. Masih menjadi perdebatan, apakah terkait sistem-sistem lain, negara juga memiliki kewenangan dan porsi sebesar tiga sistem sebelumnya; katakanlah menyangkut sistem sosial, sistem budaya, sistem adat (ada pula yang menyatukannya dengan sistem budaya), sistem agama, sistem keamanan,  serta sistem perilaku (terdapat kalangan yang tidak menyetujui penyebutan tentang hal ini). Khusus mengenai sistem politik dan sistem ekonomi sendiri, ada yang menyebutnya sebagai sistem ketatanegaraan serta sistem moneter.
            Mengapa disebut sistem, karena pada dasarnya terjadi proses pengolahan atas inputguna menjadi output yang dikehendaki dan, setelah memasuki tingkatan dampak, akan kembali menjadi sumber input. Dalam konteks tersebut, maka sistem politik dapat dikatakan merupakan sistem yang mengolah variabel-variabel yang diperlukan dalam rangka dihasilkannya suatu keputusan, kebijakan, atau tindakan politik tertentu. Adapun pengolahnya adalah para partisipan yang aktif dalam sistem politik seperti pemerintah yang berkuasa, parlemen, partai politik, maupun individu ataupun lembaga yang biasa dikelompokkan menjadi entah itu kelompok pengawas (oversight group) kelompok penekan (pressure group), atau kelompok kepentingan (interest group).
            Terkait sistem ekonomi, maka partisipannya adalah pemerintah itu sendiri, parlemen, komisi persaingan usaha, pasar, asosiasi-asosiasi terkait berbagai bidang usaha dan usahawan, pemodal, maupun masyarakat konsumen itu sendiri. Mereka berinteraksi dalam suatu sistem ekonomi dan menghasilkan keluaran berupa.
            Terkait sistem hukum, yang dilihat adalah berbagai proses dan interaksi dalam rangka pembentukan, evaluasi, dan penerapan hukum seiring dengan niatan melakukan kriminalisasi atau dekriminalisasi terkait perilaku tertentu. Hal tersebut dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian, berbagai komisi yang terkait dengan hukum, parlemen, media massa, serta masyarakat sendiri selaku subjek hukum.
            Tentu saja, dalam rangka pergulatan atau interaksi dalam ketiga sistem tersebut, selalu akan terjadi situasi menang-kalah, berhasil-gagal, terpenuhi-tidak terpenuhinya aspirasi serta kepentingannya, dilanjutkan dengan timbulnya perasaan seperti senang-sedih, jengkel-bangga, dan sebagainya. Meskipun demikian, apabila yang muncul justru perasaan sebagai korban (felt victimized), maka ada kemungkinan proses atau interaksi dalam sistem tersebut sebenarnya berlangsung tidak transparan (sehingga banyak hal menjadi tidak terbuka), curang, tidak etis, tidak adil atau diskriminatif, ataupun telah direkayasa agar berakhir dengan hasil tertentu yang dikehendaki.

Kejahatan Terhadap Penyimpangan
Kejahatan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu sebagai pelanggaran terhadap hukum pidana atau hukum lainnya yang ditetapkan oleh negara, dan secara sosiologis kejahatan dipandang sebagai setiap tindakan yang dianggap melukai secara sosial dan yang dipidana oleh negara apa pun bentuk pidananya. Para kriminolog menganggap pendefinisian kejahatan tidak hanya dalam pengertian hukum saja, tetapi lebih luas lagi yaitu sebagai setiap tindakan yang dapat dipidana oleh negara, terlepas apakah pinada kejahatan atau administrasi atau umum.
Para kriminolog membedakan antara kejahatan hukum adat/kejahatan konvensional (Common law Crime), kejahatan kerah putih (white collar crime dan kejahatan remaja (adolescent crime). Cammen lan corine adalah kejahatan yagn dianggap oleh semua orang sbagai kejahatan misalnya pembunuhan, perkosaan, perampokan, dan penyerangan. Sedangkan Occupational crime/white collar crime adalah kejahatan umum oleh orang-orang dari kalangan bisnis, pekerja, politikus, dan lain-lain dalam hubungannya dengan okopasi (pekerjaan) mereka. Pelaku kejahatan yang berusia di bawah 18 tahun biasanya dianggap sebagai seorang juvenile delinquent, bukan penjahat. Pelanggaran yang mereka lakukan berkisar sekitar ketidakdisiplinan, lari dari Rumah dan membolos sekolah.
Korupsi merupakan salah satu pelanggaran kejahatan yang di lakukan oleh pemerintah
korupsi merupakan salah satu elemen yang turut memberikan kontribusi bagi terjadinya keterbelakangan dan buruknya kinerja ekonomi Indonesia, sekaligus merupakan salah satu penghambat utama bagi pembangunan dan upaya pengentasan kemiskinan.
a. Faktor Penyebab Korupsi
   Faktor penyebab korupsi yang paling signifikan di daerah adalah faktor politik dan kekuasaan, dalam arti bahwa korupsi di daerah paling banyak dilakukan oleh para pemegang kekuasaan (eksekutif maupun legislatif) yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan kelompok dan golongannya.
   Faktor yang kedua adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi ini tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan faktor politik dan kekuasaan. Alasannya pun cenderung masih konvensional, yaitu tidak seimbangnya penghasilan dengan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.
    Faktor yang ketiga adalah nepotisme. Masih kentalnya semangat nepotisme, baik di sektor publik maupun swasta, di daerah-daerah terutama dalam penempatan posisi yang strategis tidak jarang kemudian menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, terutama yang bersangkut paut dengan keuangan negara.
Faktor yang terakhir adalah faktor pengawasan. Lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga, seperti BPKP maupun Bawasda terhadap penggunaan keuangan negara oleh pejabat-pejabat publik (eksekutif maupun legislatif) merupakan salah satu faktor penting yang turut menumbuh-suburkan budaya korupsi di daerah-daereah. Fungsi kontrol yang semestinya dijalankan oleh lembaga legislatif pun pada kenyataannya seringkali tidak efektif, yang disebabkan karena lembaga legislatif itu sendiri pun seringkali terlibat dalam penyimpangan dan penyalahgunaan keuangan negara yang dilakukan oleh eksekutif.
b. Masalah-Masalah Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi
    UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime—Kantor PBB Untuk Masalah Obat-Obatan Terlarang dan Tindak Kejahatan) mengemukakan bahwa setidak-tidaknya ada empat kendala atau “berita buruk” (bad news) bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia, termasuk di Indonesia dan daerah-daerah. Berita buruk yang pertama adalah kurangnya dana yang diinvestasikan pemerintah untuk program pemberantasan korupsi. Berita buruk yang kedua adalah kurangnya bantuan yang diberikan oleh negara-negara donor bagi program pemberantasan korupsi.
Berita buruk yang ketiga adalah kurangnya pengetahuan dan pengalaman aparat-aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Dan, berita buruk yang keempat adalah rendahnya insentif dan gaji para pejabat publik.Diluar masalah-masalah di atas, ada pula beberapa hal lain yang turut menghambat upaya pemberantasan korupsi di daerah. Diantara kelemahan-kelemahan tersebut adalah: (i) tidak jelasnya pembagian kewenangan antara jaksa, polisi dan KPK dan tidak adanya prinsip pembuktian terbalik dalam kasus korupsi; (ii) lemahnya dan tidak jelasnya mekanisme perlindungan saksi, sehingga seseorang yang dianggap mengetahui bahwa ada penyelewengan di bidang keuangan tidak bersedia untuk dijadikan saksi/memberikan kesaksian.Hambatan yang kedua berkaitan dengan kurangnya transparansi lembaga eksekutif dan legislatif terhadap berbagai penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Mekanisme pemeriksaan terhadap pejabat–pejabat eksekutif dan legislatif juga terkesan sangat birokratis, terutama apabila menyangkut izin pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat yang terindikasi korupsi. Hambatan yang ketiga berkaitan dengan integritas moral aparat penegak hukum serta ketersediaan sarana dan prasarana penunjang keberhasilan mereka dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Hambatan yang keempat berkaitan dengan masalah kultur/budaya, dimana sebagian masyarakat telah memandang korupsi sebagai sesuatu yang lazim dilakukan secara turun-temurun, disamping masih kuatnya budaya enggan untuk menerapkan budaya malu.
c. Cara Menanggulangi Korupsi Menurut saya :
   Proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim), khususnya berkenaan dengan perkara korupsi di daerah-daerah dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Menurut saya untuk mengatasi permasalahan tersebut, bahwa setidak-tidaknya ada empat strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi intensitas korupsi di daerah, yaitu:
1. Memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan proses birokrasi yang bernuansa primordial di kalangan penentu kebijakan, baik itu yang berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sehingga tata kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan profesional serta dilaksanakan dengan pertimbangan profesionalisme dan integritas moral yang tinggi;
2. Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara tegas, adil dan konsekuen tanpa ada diskriminasi bagi para pelaku korupsi, dalam arti bahwa prinsip-prinsip negara hukum benar-benar harus diterapkan secara tegas dan konsekuen, terutama prinsip equality before the law;
3. Para penentu kebijakan, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang penegakan hukum harus memiliki kesamaan visi, profesionalisme, komitmen, tanggungjawab dan integritas moral yang tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi

Hubungan Kejahatan Dengan Tingkat Ekonomi


Tidak ada keraguan bahwa ekonomi yang kuat mendorong tingkat kejahatan rendah, karena berbagai alasan. Sementara banyak ahli tidak bisa langsung atribut penurunan dalam kejahatan kekerasan pencegahanengan peningkatan kekuatan ekonomi terlihat pada tahun 1990-an, mereka atribut ke dana negara tambahan untuk departemen kepolisian dan langkah-langkah  kejahatan. Penurunan kejahatan properti, khususnya pencurian, langsung relasional untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi Indikasi penelitian ini menunjukkan bahwa ketika warga negara memiliki sumber daya untuk menyediakan kebutuhan mereka cenderung beralih ke kejahatan sebagai cara. menyediakan bagi mereka dan keluarga mereka, dan orang-orang yang lebih mungkin untuk melakukan kejahatan kekerasan sering terhambat atau terjebak dalam bertindak melalui intervensi meningkat oleh penegak hukum dimungkinkan oleh sumber daya keuangan yang memadai.
Selama ini banyak pemikiran yang menghubungkan perekonomian dengan faktor ekonomi. Tapi sedikit yang mau memikirkan hubungan perekonomian dengan faktor non ekonomi seperti kriminalitas ini. Bagaimanapun indahnya faktor perekonomian jika tidak didukung oleh faktor non ekonomi tentulah dunia usaha tidak akan berkembang. Dan perekonomian pun menjadi suram. Sadar atau tidak selama ini Pemerintah atau warga kurang mau memperhatikan pembangunan sektor keamanan di tengah kehidupan. Selama ini faktor keamanan dan pertahanan selalu dikaitkan dengan upaya untuk mempertahankan keutuhan negara dari gangguan luar negeri. Tidak pada kepentingannya bagi kehidupan dalam negeri sehingga keamanan dalam negeri berjalan biasa biasa saja. Keamanan dianggap tidak begitu penting dan kurang diperhatikan dalam kehidupan masyarakat umum.
Saat ini, setelah tingkat kriminalitas berjalan tinggi keadaannya menjadi lain. Masyarakat seperti dibangunkan dari tidur. Kegelisahan pun terjadi. Kelompok pengusaha khususnya merasa keamanan perusahaannya mulai terancam dan ikut memperlemah niatnya untuk membuka atau memperluas kegiatan usahanya. Kecurigaannya terhadap keamanan pun muncul. Dan bagi pengusaha yang memiliki modal kuat mulai berpikir mengalihkan usahanya ke luar negeri yang keamanannya lebih terjamin. Kecurigaan ini juga muncul pada pengusaha domestik. Pemerintah tentu tidak bisa menahannya dan keadaan ini akan memperburuk perekonomian dalam negeri.
Kita harus maklum bahwa tujuan perusahaan itu tidak sekadar mendapatkan keuntungan dari usaha yang ia lakukan. Tapi juga adalah keamanan dan keselamatan modal dan diri serta keluarganya. Mungkin yang terakhir ini lebih penting dari sekadar mendapatkan keuntungan. Yang terakhir ini merupakan dasar dari kehidupan kelompok pengusaha. Jadi apa yang akan terjadi pada perekonomian Indonesia jika masalah kriminalitas ini berlarut larut tanpa penyelesaian. Kelompok pengusaha dan masyarakat umum sangat mengharapkan agar kriminalitas yang berjalan dapat ditekan dan dilenyapkan.
Keberhasilan pihak keamanan dalam mengungkap dan melenyapkan kriminalitas juga suatu gambaran mengenai tingkat keamanan dan keselamatan yang berjalan. Jika masalah kriminalitas ini tidak terungkap tentu pihak pengusaha berasumsi bahwa Indonesia berada dalam zona tidak aman. Ini pun merupakan indikator kualitas aparat keamanan Indonesia. Jadi pihak keamanan harus bekerja keras untuk mengungkap dan memberantas para pelaku krimanilitas. Masyarakat umum harus ikut membantu pihak keamanan dengan memberikan informasi pelaku seandainya informasi itu dimiliki. Keikutsertaan masyarakat memerangi kriminalitas, dengan memberikan informasi yang dimiliki kepada pihak keamanan mempunyai arti besar bagi memberantas kriminalitas dan kenakalan di tengah masyarakat.
Secara makro kriminalitas akan mempertahankan kepincangan perekonomian Indonesia yang berjalan saat ini. Seperti dimaklumi di Indonesia saat ini terdapat kepincangan antara pertumbuhan sektor keuangan dan sektor riil. Ini berlanjut pada kepincangan pendapatan bagi kelompok masyarakat yang bekerja pada sektor keuangan dengan mereka yang bekerja di sektor riil. Kepincangan ini sudah berjalan lama dan pemerintah belum berhasil untuk menyeimbangkan pertumbuhan ini. Ada juga dampak dari migrasi

Migrasi disebut juga dengan mobilitas penduduk yang definisi nya sama yaitu perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk terbagi dua yaitu bersifat nonpermanen atau sementara misalnya turis baik nasional maupun manca negara, dan ada pula mobilitas penduduk yang bersifat permanen atau menetap di suatu daerah. Mobilitas penduduk permanen disebut migrasi.
Di Indonesia terjadi migrasi antara dari desa ke kota dengan pengharapan penduduk yang berada di desa migrasi ke kota agar mendapatkan kehidupan yang layak dengan bekerja di kota.
Seperti yang diketahui Perdagangan manusia (trafficking) melalui jalur migrasi telah menjadi salah satu bentuk kejahatan transnasional yang marak dalam dekade ini. Dari segi kuantitas, jumlah korban trafficking menunjukkan angka yang mengerikan.
Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) memperkirakan korban perdagangan perempuan berkisar antara 700,000 hingga dua juta orang setiap tahunnya. Bureau of Public Affairs US Department of State dalam laporannya tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap tahunnya sebanyak 800.000 – 900.000 manusia telah diperdagangkan dengan tujuan memasok pasar industi seks dan pasar tenaga kerja murah. Tidak hanya marak dari segi kuantitas, nilai transaksi kejahatan trafficking juga menggiurkan. PBB memperkirakan pemasukan setiap tahun dari industri ini mencapai US$7 milyar. Bahkan trafficking diyakini sebagai sumber pemasukan ketiga terbesar dari aktivitas kejahatan transnasional, setelah narkotika dan penjualan senjata api.
Sementara itu kawasan Asia Tenggara merupakan sumber dari sepertiga kasus trafficking global. Angka di atas menunjukkan bahwa meskipun perdagangan manusia bukan merupakan fenomena baru, trend global menunjukkan peningkatan kasus trafficking setiap tahunnya dan perempuan merupakan korban terbanyak perdagangan manusia. Lalu bagaimana memotret kerentanan perempuan dalam persoalan perdagangan manusia?.
Secara global, korban perdagangan manusia beragam mulai dari perempuan, laki-laki, remaja, anak perempuan hingga bayi. Namun perempuan masih menempati jumlah dengan porsi terbesar sebagai korban trafficking. Hal ini menujukkan adanya viktimisasi (victimization) perempuan sebagai korban dalam persoalan perdagangan perempuan. Namun perlu dipahami bahwa persoalan perdagangan perempuan termasuk dalam fenomena gunung es, dimana angka yang tidak terlihat jauh lebih banyak daripada yang terlihat di permukaan. Maksudnya adalah pendataan terhadap korban trafficking hanya dapat dilakukan jika ada tindakan pelaporan dari korban maupun keluarga korban. Sementara dalam realitanya persoalan trafficking yang tidak dilaporkan jauh lebih besar. Selain itu perbedaan persepsi antara para pemangku kepentingan di pemerintahan dalam memaknai trafficking, misalnya antara kepolisian, disnaker, keimigrasian, menjadi persoalan dalam pendefinisian korban trafficking. Seringkali delik hukum yang dikenakan untuk kasus trafficking berhimpitan dengan persoalan penempatan tenaga kerja. Akibat dari berbagai persoalan tersebut. pendataan tentang korban trafficking mengalami kendala akurasi dan validitas. Data korban trafficking yang dihimpun oleh berbagai pemangku kepentingan tersebut pada akhirnya mengalami perbedaan.
Isu viktimasi terhadap perempuan sebagai korban trafficking juga terjadi ketika viktimisasi dilakukan melalui tindakan mengkriminalkan aktivitas migrasi perempuan yang sejatinya dilakukan sebagai strategi untuk bertahan hidup. Perempuan migran dianggap sebagai pelaku kriminal karena bermigrasi dengan cara dan prosedur yang illegal. Terkait dengan hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa kasus perempuan calon migran mengetahui atau menyetujui proses migrasi illegal yang terjadi, misalnya pemalsuan usia dan status untuk dokumen keberangkatan. Namun di sisi lain, tidak sedikit juga migran perempuan yang berangkat secara legal namun dalam perjalanan mereka diselundupkan dan diperdagangkan. Perempuan migran dengan karakteristik inilah yang lebih tepat disebut sebagai korban trafficking.
Persoalan kerentanan perempuan inilah yang kemudian menjadi hal penting lainnya dalam melihat persoalan perdagangan perempuan sebagai bagian dari fenomena globalisasi. Perempuan dan laki-laki, khususnya migran mempunyai pengalaman berbeda dalam menghadapi dan merespons persoalan perdagangan perempuan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kerentanan (vulnerability) yang mereka miliki, yang diantaranya dikarenakan konsekuensi dari kebijakan yang diskriminatif. Kerentanan perempuan sebagai korban trafficking disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya terkait dengan adanya praktek-praktek sosial budaya di masyarakat yang diskriminatif terhadap perempuan sehingga menjadikan mereka termarginalisasi dalam berbagai sektor, baik ekonomi, sosial dan pendidikan. Mitos kawin muda atau kawin paksa, yang terjadi di berbagai negara menjadikan perempuan terbatas dalam memanfaatkan kesempatan ekonomi dan pendidikan. Dalam usia yang relatif muda, para perempuan sudah harus berkutat dengan pekerjaan domestik yang membatasi mobilitasnya. Akibatnya, perempuan cenderung miskin dan tidak berpendidikan.
Faktor lain yang meningkatkan kerentanan perempuan sebagai korban trafficking dalam konteks globalisasi adalah adanya persepsi di daerah/negara tujuan bahwa perempuan adalah komoditi yang dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan. Isu komodifikasi perempuan sebenarnya bukanlah isu baru. Isu ini telah berkembang paada awal era class-divided society. Pada era yang ditandai dengan perkembangan kapitalisme global, suatu sistem yang mendasarkan pada produksi komoditas, menjadikan persoalan perdagangan perempuan semakin marak. Persepsi bahwa perempuan sebagai komoditi semakin menguat seiring dengan maraknya industri hiburan dan seks. Perempuan dan anak-anak dijadikan komoditas seksual yang dapat diperjualbelikan dengan dipekerjakan sebagai model, bintang film dan wanita penghibur di bar atau restoran. Akibatnya industri seks, prostitusi dan pornografi berkembang pesat dan meraup untung milyaran dolar.
Komodifikasi perempuan terutama sebagai objek seks muncul seiring dengan filosofi laissez-fair dan neoliberalisasi yang dikandung oleh globalisasi. Filosofi tersebut menekankan pada konsep marketisasi, konsumerisme dan individualisme sebagai cirinya. Ketiga konsep tersebut menghasilkan logika bahwa segala hal dapat dikomersilkan dan dikomoditikan, termasuk perempuan. Ini menunjukkan bahwa jenis pekerjaan tersebut menekankan penggunaan femininitas dan seksualitas untuk meraup keuntungan. Dengan tujuan membayar hutang, beberapa negara di Asia, Amerika Latin dan Afrika didorong oleh organisasi internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk mengembangkan berbagai industri yang menstimulasi perkembangan industri seks tersebut. Hal tersebut menunjukkan komodifikasi perempuan melalui prostitusi telah menjadi strategi pembangunan industri turisme dan hiburan di beberapa negara.
Potret kerentanan perempuan dalam isu perdagangan manusia sebagai konsekuensi globalisasi di atas menunjukkan bahwa aktivitas migrasi internasional saat ini lebih kompleks sehingga rentan terhadap peluang terjadinya perdagangan manusia, khususnya perempuan. Sebagai pihak yang rentan terhadap pengaruh globalisasi, perempuan telah menjadikan migrasi sebagai pilihan untuk bertahan hidup. Persoalannya, aktivitas migrasi perempuan yang mendorong terjadinya feminisasi migrasi seringkali tidak berjalan sesuai prosedur sehingga dimanfaatkan oleh sindikat kejahatan transnasional. Kondisi ini semakin kompleks ketika perempuan sendiri telah menjadi pihak yang rentan sebagai korban kejahatan (viktimisasi), akibat perlakuan marginalisasi di keluarga dan masyarakat serta persepsi yang berbeda di daerah tujuan migrasi akan komodifikasi perempuan. Akibat berbagai hal tersebut, perempuan telah menjadi korban kejahatan perdagangan manusia yang sebenarnya melanggar hak asasi manusia. Kejahatan tersebut telah merenggut hak untuk merdeka dan mencari penghidupan yang layak sekaligus berpotensi mendorong terjadinya kekerasan berbasis gender dalam keluarga. Berbagai hal di atas menunjukkan bahwa globalisasi, migrasi dan perdagangan perempuan bukanlah fenomena yang netral gender, melainkan fenomena yang mempengaruhi diskursus ideologi gender, relasi gender dan posisi perempuan di tengah sistem ekonomi politik dunia yang hegemon dan maskulin.

Hubungan Migrasi Dengan Ekonomi



Migrasi manusia:
  Migrasi manusia adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik/negara (migrasi internasional). Dengan kata lain, migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah (negara) ke daerah (negara) lain. Arus migrasi ini berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan pendapatan antara kota dan desa.
 Namun, pendapatan yang dimaksud bukanlah pendapatan aktual, melainkan penghasilah yang diharapkan(expected income). Kerangka Skematik ini merupakan aplikasi dari model dekskripsi Todaro mengenai migrasi.
Premis dasar yang dianut dalam model ini adalah bahwa para migran mempertimbangkan dan membandingkan pasar-pasar tenaga kerja yang tersedia bagi mereka disektor pedesaan dan perkotaan, serta memilih salah satunya yang dapat memaksimumkan keuntungan yang diharapkan. Besar kecilnya keuntungan yang mereka harapkan diukur berdasarkan besar kecilnya selisih antara pendapatan riil dari pekerjaan dikota dan didesa, angka tersebut merupakan implementasinya terhadap peluang migran untuk mendapatkan pekerjaan dikota.

 Migrasi adalah sebuah fenomena yang sebenarnya sudah sejak zaman dahulu kala telah terjadi.
 Salah satu contohnya pada zaman penjajahan Jepang di Indonesia, sebenarnya pada saat itu dapat dikatakan jika orangorang jepang melakukan migrasi ke Indonesia. Migrasi sendiri adalah perpindahan penduduk dengan niatan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat yang lain melewati batas administratif suatu wilayah karena adanya perbedaan antara daerah asal dan daerah tujuan. Pada umumnya faktor ekonomi adalah alasan utama yang mendasari seseorang untuk melakukan migrasi. Seseorang memandang bahwa di daerah lain tersedia banyak lowongan pekerjaan yang mampu memperbaiki taraf hidupnya. Sampai saat ini pun fenomena migrasi ini masih terus terjadi. Hal itu dapat dilihat dari semakin banyaknya tenaga kerja asing yang bekerja bukan di negara tempat asalnya.
Beberapa dampak negatif  migrasi antara lain, sebagai berikut.
1. Pembangunan suatu daerah terhambat dan produktivitas menurun karena minimnya tenaga kerja produktif. Misalnya:
lahan pertanian terbengkalai karena tenaga produktifnya berurbanisasi;
orang beramai-ramai menjadi TKI, sementara yang tinggal di desa hanya tenaga-tenaga tidak produktif sehingga terjadinya kekurangan tenaga kerja di daerah tersebut.
2. Muncul masalah kepadatan penduduk di daerah tujuan migrasi dan berdampak pada masalah perumahan. Misalnya, muncul banyak permukiman kumuh.
3. Muncul masalah pengangguran yang berdampak pada meningkatnya kriminalitas.Contoh:
banyak orang datang ke kota tanpa bekal keterampilan sehingga tidak mendapatkan pekerjaan;
kota yang dituju sudah tidak memerlukan tenaga kerja tambahan.
4. Timbul berbagai masalah kependudukan. Misalnya, krisis hubungan antarnegara karena masalah keimigrasian (tenaga kerja, imigran gelap, dan sebagainya) atau masalah hubungan berbagai etnis di daerah urban.


 Hubungannya Migrasi dengan ekonomi itu banyak di antaranya:
1. Dengan adanya Tenaga Kerja Indonesia, ini salah satu untuk membuat kesejahteraan hidup Negara dengan mendatangkan Devisa bagi Negaranya & pribadinya di kelak kemudian hari.
2. Dengan adanya pertukaran pelajar/ balajar/ menuntut ilmu di negara lain, ini juga salah satu termasuk dalam Kesejahteraan Migrasi, dengan adanya demikian, Negara dapat berbangga hati, karena salah satu generasi muda dalam negerinya bisa membuat bangga negaranya, dan dia pun bisa berbangga dirinya sendiri atas kerja kerasnya
3. Dengan adanya pernikahan sepasang seseorang yang berbeda negara, dapat mejalin kesekahteraan masing negaranya

Hubungan Manusia dengan Masyarakat


Pengertian Manusia
Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok atau seorang individu. Definisi manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dan dianugerahiNya akal, hati, fisik. Yang membedakan antara manusia dengan hewan adalah akal. Maka ada yang berpendapat bahwa manusia itu hewan yang berakal. Karena dari segi fisik memang tidak ada beda dengan hewan tetapi yang membedakannya adalah akal.
Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup (living organism). Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi), horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan. Tatkala seorang bayi lahir, ia merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi, dan oleh karena itu ia menangis, menuntut agar perbedaan itu berkurang dan kehilangan itu tergantikan. Dari sana timbul anggapan dasar bahwa setiap manusia dianugerahi kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of discrimination) dan keinginan untuk hidup. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi kebutuhan itu bersumber dari lingkungan. Oleh karena itu lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap manusia itu sendiri.
Berikut ini adalah pengertian dan definisi manusia menurut beberapa ahli:
·         ABINENO J. I : Manusia adalah "tubuh yang berjiwa" dan bukan "jiwa abadi yang berada atau yang terbungkus dalam tubuh yang fana"
·         UPANISADS : Manusia adalah kombinasi dari unsur-unsur roh (atman), jiwa, pikiran, dan prana atau badan fisik
·         OMAR MOHAMMAD AL-TOUMY AL-SYAIBANY : Manusia adalah mahluk yang paling mulia, manusia adalah mahluk yang berfikir, dan manusia adalah mahluk yang memiliki 3 dimensi (badan, akal, dan ruh), manusia dalam pertumbuhannya dipengaruhi faktor keturunan dan lingkungan
·         ERBE SENTANU : Manusia adalah mahluk sebaik-baiknya ciptaan-Nya. Bahkan bisa dibilang manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan dengan mahluk yang lain
·         PAULA J. C & JANET W. K : Manusia adalah mahluk terbuka, bebas memilih makna dalam situasi, mengemban tanggung jawab atas keputusan yang hidup secara kontinu serta turut menyusun pola berhubungan dan unggul multidimensi dengan berbagai kemungkinan.
.

Sistem

Di semua Negara di dunia, hubungan interaksi masyarakat akan dipengaruhi oleh budaya, nilai, dan tata karma yang berlaku di komunitas tersebut. Semuanya membentuk sebuah sistem yang menunjukkan do’s and don’t bagi individu di sekelilingnya. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

1.     Liberalisme. Dalam liberalism, Individu bias lebih otonom, independen dan berkuasa. Individu tidak terlalu dibebani seputar masyarakat karena memang pada dasarnya masyarakat tidak peduli apa yang dilakukan individu tersebut.
2.     Moderat. Nah, ini bentuk kombinasi atau perpaduan dari liberalism dan komunisme. Moderat berarti tidak membuang hak individu untuk bergerak, namun juga tidak melepasnya dari sistem kemasyarakatan Singkatnya, ini ialah bentuk kompromi.
3.     Komunisme. Populer dikalangan penganut komunisme ialah “what you get is what you give”. Apa yang kamu dapatkan adalah apa yang kamu berikan. Sistem ini hamper tidak memberi individu ruang untuk leluasa mengoptimalkan perannya sebagai manusia yang otonom. Sebaliknya justru asas kolektif kolegial cenderung jadi rujukan.
Kebudayaan Diantara Masyarakat

Secara sederhana dapat dikatakan, manusia bertindak sebagai pelaku dari kebudayaan. Sedangkan kebudayaan dikatakan sebagai objek yang dilakukan manusia. Kebudayaan terbentuk dari perilaku yang dilakukan oleh manusia dalam menghadapi penyelesaian suatu masalah. Dalam rangka memecahkan masalah tersebut, manusia melakukan berbagai cara untuk dapat bertahan. Dari hal yang dilakukan itulah terbentuk kebudayaan. Kebudayaan yang dilakukan dalam menyelesaikan masalah disebut sebagai pedoman bertingkah laku.
Dalam hal berhadapan dengan imigran yang berbeda kebudayaan  masyarakat memiliki beberapa cara dalam menghadapinya. Cara yang dipilih tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan, seberpa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli dan tipe pemerintahan yang berkuasa.

·         Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.
Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.
Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.
Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.


Karakter Indonesia

Indonesia boleh dibilang termasuk agak moderat meskipun tidak bias dikategorikan moderat sepenuhnya. Eksistensi individu dihargai disini. Namun, dalam beberapa hal, ada pengecualian. Merujuk pada konstitusi Indonesia, ekonomi menjadi sorotan utama.
Sejatinya, dalam semua lini kehidupan, para pencetus bangsa Indonesia memang menginginkan sistem yang kekeluargaan, kolektif, dan bersama-sama. Itu sebabnya gotong royong jadi jargon populer. Berikut ini karakter khas Indonesia dalam relasi individu dan masyarakat.

1.     Ronda. Komunitas masyarakat Indonesia lebih senang jaga berbarengan.
2.     Kebersihan. Biasanya di akhir p[ekan, masyarakat sering bahu membahu membersihkan got, sapu jalan, dan lain lain. Ini hanya terjadi di Indonesia.
3.     Kirim antartetangga. Jelang lebaran, biasanya warga muslim satu dengan yang lain saling mengirimi makanan.

Manusia adalah sebagai makhluk individu dalam arti tidak dapat di pisahkan antara jiwa dan raganya, oleh karena itu dalam proses perkembangannya perlu keterpaduan antara perkembangan jasmani maupun rohaninya.

    Sebagai makhluk sosial seorang individu tidak dapat berdiri sendiri, saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya, dan saling mengadakan hubungan sosial di tengah–tengah masyarakat.

    Keluarga dengan berbagai fungsi yang dijalankan adalah sebagai wahana dimana seorang individu mengalami proses sosialisasi yang pertama kali, sangat penting artinya dalam mengarahkan terbentuknya individu menjadi seorang yang berpribadi.

    Sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat, keluarga mempunyai korelasi fungsional dengan masyarakat tertentu, oleh karena itu dalam proses pengembangan individu menjadi seorang yang berpribadi hendaknya diarahkan sesuai dengan struktur masyarakat yang ada, sehingga seorang individu  menjadi seorang yang dewasa dalam arti mampu mengendalikan diri dan melakukan hubungan – hubungan sosial di dalam masyarakat yang cukup majemuk.

    Masyarakat adalah kelompok manusia yang saling berinteraksi yang memiliki prasarana untuk kegiatan tersebut dan adanya saling keterikatan untuk mencapai tujuan bersama. Masyarakat adalah tempat kita bisa melihat dengan jelas proyeksi individu sebagai bagian keluarga, keluarga sebagai tempat terprosesnya, dan masyarakat adalah tempat kita melihat hasil dari proyeksi tersebut.

    Manusia adalah yang berada dalam masyarakat tertentu berarti ia berada pada suatu konteks budaya tertentu. Pada tahap inilah arti keunikan individu itu menjadi jelas dan bermakna, artinya akan dengan mudah dirumuskan gejala – gejalanya. Karena di sini akan terlibat individu sebagai perwujudan dirinya sendiri dan merupakan makhluk sosial sebagai perwujudan anggota kelompok  atau anggota masyarakat