Tidak ada keraguan bahwa ekonomi yang kuat mendorong
tingkat kejahatan rendah, karena berbagai alasan. Sementara banyak ahli tidak
bisa langsung atribut penurunan dalam kejahatan kekerasan pencegahanengan
peningkatan kekuatan ekonomi terlihat pada tahun 1990-an, mereka atribut ke
dana negara tambahan untuk departemen kepolisian dan
langkah-langkah kejahatan. Penurunan kejahatan properti, khususnya
pencurian, langsung relasional untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi Indikasi penelitian ini
menunjukkan bahwa ketika warga negara memiliki sumber daya untuk menyediakan
kebutuhan mereka cenderung beralih ke kejahatan sebagai cara. menyediakan bagi
mereka dan keluarga mereka, dan orang-orang yang lebih mungkin untuk melakukan
kejahatan kekerasan sering terhambat atau terjebak dalam bertindak melalui
intervensi meningkat oleh penegak hukum dimungkinkan oleh sumber daya keuangan
yang memadai.
Selama ini banyak pemikiran yang menghubungkan
perekonomian dengan faktor ekonomi. Tapi sedikit yang mau memikirkan hubungan
perekonomian dengan faktor non ekonomi seperti kriminalitas ini. Bagaimanapun
indahnya faktor perekonomian jika tidak didukung oleh faktor non ekonomi
tentulah dunia usaha tidak akan berkembang. Dan perekonomian pun menjadi suram.
Sadar atau tidak selama ini Pemerintah atau warga kurang mau memperhatikan
pembangunan sektor keamanan di tengah kehidupan. Selama ini faktor keamanan dan
pertahanan selalu dikaitkan dengan upaya untuk mempertahankan keutuhan negara
dari gangguan luar negeri. Tidak pada kepentingannya bagi kehidupan dalam
negeri sehingga keamanan dalam negeri berjalan biasa biasa saja. Keamanan
dianggap tidak begitu penting dan kurang diperhatikan dalam kehidupan
masyarakat umum.
Saat ini, setelah tingkat kriminalitas berjalan tinggi
keadaannya menjadi lain. Masyarakat seperti dibangunkan dari tidur. Kegelisahan
pun terjadi. Kelompok pengusaha khususnya merasa keamanan perusahaannya mulai
terancam dan ikut memperlemah niatnya untuk membuka atau memperluas kegiatan
usahanya. Kecurigaannya terhadap keamanan pun muncul. Dan bagi pengusaha yang
memiliki modal kuat mulai berpikir mengalihkan usahanya ke luar negeri yang
keamanannya lebih terjamin. Kecurigaan ini juga muncul pada pengusaha domestik.
Pemerintah tentu tidak bisa menahannya dan keadaan ini akan memperburuk
perekonomian dalam negeri.
Kita harus maklum bahwa tujuan perusahaan itu tidak sekadar mendapatkan keuntungan dari usaha yang ia lakukan. Tapi juga adalah keamanan dan keselamatan modal dan diri serta keluarganya. Mungkin yang terakhir ini lebih penting dari sekadar mendapatkan keuntungan. Yang terakhir ini merupakan dasar dari kehidupan kelompok pengusaha. Jadi apa yang akan terjadi pada perekonomian Indonesia jika masalah kriminalitas ini berlarut larut tanpa penyelesaian. Kelompok pengusaha dan masyarakat umum sangat mengharapkan agar kriminalitas yang berjalan dapat ditekan dan dilenyapkan.
Kita harus maklum bahwa tujuan perusahaan itu tidak sekadar mendapatkan keuntungan dari usaha yang ia lakukan. Tapi juga adalah keamanan dan keselamatan modal dan diri serta keluarganya. Mungkin yang terakhir ini lebih penting dari sekadar mendapatkan keuntungan. Yang terakhir ini merupakan dasar dari kehidupan kelompok pengusaha. Jadi apa yang akan terjadi pada perekonomian Indonesia jika masalah kriminalitas ini berlarut larut tanpa penyelesaian. Kelompok pengusaha dan masyarakat umum sangat mengharapkan agar kriminalitas yang berjalan dapat ditekan dan dilenyapkan.
Keberhasilan pihak keamanan dalam mengungkap dan
melenyapkan kriminalitas juga suatu gambaran mengenai tingkat keamanan dan
keselamatan yang berjalan. Jika masalah kriminalitas ini tidak terungkap tentu
pihak pengusaha berasumsi bahwa Indonesia berada dalam zona tidak aman. Ini pun
merupakan indikator kualitas aparat keamanan Indonesia. Jadi pihak keamanan
harus bekerja keras untuk mengungkap dan memberantas para pelaku krimanilitas.
Masyarakat umum harus ikut membantu pihak keamanan dengan memberikan informasi
pelaku seandainya informasi itu dimiliki. Keikutsertaan masyarakat memerangi
kriminalitas, dengan memberikan informasi yang dimiliki kepada pihak keamanan
mempunyai arti besar bagi memberantas kriminalitas dan kenakalan di tengah
masyarakat.
Secara makro kriminalitas akan mempertahankan kepincangan perekonomian Indonesia yang berjalan saat ini. Seperti dimaklumi di Indonesia saat ini terdapat kepincangan antara pertumbuhan sektor keuangan dan sektor riil. Ini berlanjut pada kepincangan pendapatan bagi kelompok masyarakat yang bekerja pada sektor keuangan dengan mereka yang bekerja di sektor riil. Kepincangan ini sudah berjalan lama dan pemerintah belum berhasil untuk menyeimbangkan pertumbuhan ini. Ada juga dampak dari migrasi
Secara makro kriminalitas akan mempertahankan kepincangan perekonomian Indonesia yang berjalan saat ini. Seperti dimaklumi di Indonesia saat ini terdapat kepincangan antara pertumbuhan sektor keuangan dan sektor riil. Ini berlanjut pada kepincangan pendapatan bagi kelompok masyarakat yang bekerja pada sektor keuangan dengan mereka yang bekerja di sektor riil. Kepincangan ini sudah berjalan lama dan pemerintah belum berhasil untuk menyeimbangkan pertumbuhan ini. Ada juga dampak dari migrasi
Migrasi disebut juga dengan mobilitas penduduk yang
definisi nya sama yaitu perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain.
Mobilitas penduduk terbagi dua yaitu bersifat nonpermanen atau sementara
misalnya turis baik nasional maupun manca negara, dan ada pula mobilitas
penduduk yang bersifat permanen atau menetap di suatu daerah. Mobilitas
penduduk permanen disebut migrasi.
Di Indonesia terjadi migrasi antara dari desa ke kota
dengan pengharapan penduduk yang berada di desa migrasi ke kota agar
mendapatkan kehidupan yang layak dengan bekerja di kota.
Seperti yang diketahui Perdagangan manusia (trafficking)
melalui jalur migrasi telah menjadi salah satu bentuk kejahatan transnasional
yang marak dalam dekade ini. Dari segi kuantitas, jumlah korban trafficking
menunjukkan angka yang mengerikan.
Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) memperkirakan korban
perdagangan perempuan berkisar antara 700,000 hingga dua juta orang setiap
tahunnya. Bureau of Public Affairs US Department of State dalam laporannya
tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap tahunnya sebanyak 800.000 – 900.000 manusia
telah diperdagangkan dengan tujuan memasok pasar industi seks dan pasar tenaga
kerja murah. Tidak hanya marak dari segi kuantitas, nilai transaksi kejahatan
trafficking juga menggiurkan. PBB memperkirakan pemasukan setiap tahun dari
industri ini mencapai US$7 milyar. Bahkan trafficking diyakini sebagai sumber
pemasukan ketiga terbesar dari aktivitas kejahatan transnasional, setelah
narkotika dan penjualan senjata api.
Sementara itu kawasan Asia Tenggara merupakan sumber dari
sepertiga kasus trafficking global. Angka di atas menunjukkan bahwa meskipun
perdagangan manusia bukan merupakan fenomena baru, trend global menunjukkan
peningkatan kasus trafficking setiap tahunnya dan perempuan merupakan korban
terbanyak perdagangan manusia. Lalu bagaimana memotret kerentanan perempuan dalam
persoalan perdagangan manusia?.
Secara global, korban perdagangan manusia beragam mulai
dari perempuan, laki-laki, remaja, anak perempuan hingga bayi. Namun perempuan
masih menempati jumlah dengan porsi terbesar sebagai korban trafficking. Hal
ini menujukkan adanya viktimisasi (victimization) perempuan sebagai korban
dalam persoalan perdagangan perempuan. Namun perlu dipahami bahwa persoalan
perdagangan perempuan termasuk dalam fenomena gunung es, dimana angka yang
tidak terlihat jauh lebih banyak daripada yang terlihat di permukaan. Maksudnya
adalah pendataan terhadap korban trafficking hanya dapat dilakukan jika ada
tindakan pelaporan dari korban maupun keluarga korban. Sementara dalam
realitanya persoalan trafficking yang tidak dilaporkan jauh lebih besar. Selain
itu perbedaan persepsi antara para pemangku kepentingan di pemerintahan dalam
memaknai trafficking, misalnya antara kepolisian, disnaker, keimigrasian,
menjadi persoalan dalam pendefinisian korban trafficking. Seringkali delik
hukum yang dikenakan untuk kasus trafficking berhimpitan dengan persoalan
penempatan tenaga kerja. Akibat dari berbagai persoalan tersebut. pendataan
tentang korban trafficking mengalami kendala akurasi dan validitas. Data korban
trafficking yang dihimpun oleh berbagai pemangku kepentingan tersebut pada
akhirnya mengalami perbedaan.
Isu viktimasi terhadap perempuan sebagai korban
trafficking juga terjadi ketika viktimisasi dilakukan melalui tindakan
mengkriminalkan aktivitas migrasi perempuan yang sejatinya dilakukan sebagai
strategi untuk bertahan hidup. Perempuan migran dianggap sebagai pelaku
kriminal karena bermigrasi dengan cara dan prosedur yang illegal. Terkait
dengan hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa kasus perempuan
calon migran mengetahui atau menyetujui proses migrasi illegal yang terjadi,
misalnya pemalsuan usia dan status untuk dokumen keberangkatan. Namun di sisi
lain, tidak sedikit juga migran perempuan yang berangkat secara legal namun
dalam perjalanan mereka diselundupkan dan diperdagangkan. Perempuan migran
dengan karakteristik inilah yang lebih tepat disebut sebagai korban
trafficking.
Persoalan kerentanan perempuan inilah yang kemudian
menjadi hal penting lainnya dalam melihat persoalan perdagangan perempuan
sebagai bagian dari fenomena globalisasi. Perempuan dan laki-laki, khususnya
migran mempunyai pengalaman berbeda dalam menghadapi dan merespons persoalan
perdagangan perempuan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kerentanan
(vulnerability) yang mereka miliki, yang diantaranya dikarenakan konsekuensi
dari kebijakan yang diskriminatif. Kerentanan perempuan sebagai korban
trafficking disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya terkait dengan
adanya praktek-praktek sosial budaya di masyarakat yang diskriminatif terhadap
perempuan sehingga menjadikan mereka termarginalisasi dalam berbagai sektor,
baik ekonomi, sosial dan pendidikan. Mitos kawin muda atau kawin paksa, yang
terjadi di berbagai negara menjadikan perempuan terbatas dalam memanfaatkan
kesempatan ekonomi dan pendidikan. Dalam usia yang relatif muda, para perempuan
sudah harus berkutat dengan pekerjaan domestik yang membatasi mobilitasnya.
Akibatnya, perempuan cenderung miskin dan tidak berpendidikan.
Faktor lain yang meningkatkan kerentanan perempuan
sebagai korban trafficking dalam konteks globalisasi adalah adanya persepsi di
daerah/negara tujuan bahwa perempuan adalah komoditi yang dapat dipertukarkan
dan diperjualbelikan. Isu komodifikasi perempuan sebenarnya bukanlah isu baru.
Isu ini telah berkembang paada awal era class-divided society. Pada era yang
ditandai dengan perkembangan kapitalisme global, suatu sistem yang mendasarkan
pada produksi komoditas, menjadikan persoalan perdagangan perempuan semakin
marak. Persepsi bahwa perempuan sebagai komoditi semakin menguat seiring dengan
maraknya industri hiburan dan seks. Perempuan dan anak-anak dijadikan komoditas
seksual yang dapat diperjualbelikan dengan dipekerjakan sebagai model, bintang
film dan wanita penghibur di bar atau restoran. Akibatnya industri seks,
prostitusi dan pornografi berkembang pesat dan meraup untung milyaran dolar.
Komodifikasi perempuan terutama sebagai objek seks muncul
seiring dengan filosofi laissez-fair dan neoliberalisasi yang dikandung oleh
globalisasi. Filosofi tersebut menekankan pada konsep marketisasi, konsumerisme
dan individualisme sebagai cirinya. Ketiga konsep tersebut menghasilkan logika
bahwa segala hal dapat dikomersilkan dan dikomoditikan, termasuk perempuan. Ini
menunjukkan bahwa jenis pekerjaan tersebut menekankan penggunaan femininitas
dan seksualitas untuk meraup keuntungan. Dengan tujuan membayar hutang,
beberapa negara di Asia, Amerika Latin dan Afrika didorong oleh organisasi
internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk mengembangkan berbagai industri
yang menstimulasi perkembangan industri seks tersebut. Hal tersebut menunjukkan
komodifikasi perempuan melalui prostitusi telah menjadi strategi pembangunan
industri turisme dan hiburan di beberapa negara.
Potret kerentanan perempuan dalam isu perdagangan manusia
sebagai konsekuensi globalisasi di atas menunjukkan bahwa aktivitas migrasi
internasional saat ini lebih kompleks sehingga rentan terhadap peluang
terjadinya perdagangan manusia, khususnya perempuan. Sebagai pihak yang rentan
terhadap pengaruh globalisasi, perempuan telah menjadikan migrasi sebagai
pilihan untuk bertahan hidup. Persoalannya, aktivitas migrasi perempuan yang
mendorong terjadinya feminisasi migrasi seringkali tidak berjalan sesuai
prosedur sehingga dimanfaatkan oleh sindikat kejahatan transnasional. Kondisi
ini semakin kompleks ketika perempuan sendiri telah menjadi pihak yang rentan
sebagai korban kejahatan (viktimisasi), akibat perlakuan marginalisasi di
keluarga dan masyarakat serta persepsi yang berbeda di daerah tujuan migrasi
akan komodifikasi perempuan. Akibat berbagai hal tersebut, perempuan telah
menjadi korban kejahatan perdagangan manusia yang sebenarnya melanggar hak
asasi manusia. Kejahatan tersebut telah merenggut hak untuk merdeka dan mencari
penghidupan yang layak sekaligus berpotensi mendorong terjadinya kekerasan
berbasis gender dalam keluarga. Berbagai hal di atas menunjukkan bahwa
globalisasi, migrasi dan perdagangan perempuan bukanlah fenomena yang netral
gender, melainkan fenomena yang mempengaruhi diskursus ideologi gender, relasi
gender dan posisi perempuan di tengah sistem ekonomi politik dunia yang hegemon
dan maskulin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar