Sistem dalam Negara
Negara
baru bisa berjalan dan berfungsi jika secara simultan dan komplementer
menjalankan berbagai sistem yang secara inklusif dan eksklusif memang merupakan
kewenangan dan porsi negara untuk menjalankannya. Sistem tersebut adalah sistem
politik, sistem ekonomi, serta sistem hukum. Masih menjadi perdebatan, apakah
terkait sistem-sistem lain, negara juga memiliki kewenangan dan porsi sebesar
tiga sistem sebelumnya; katakanlah menyangkut sistem sosial, sistem budaya,
sistem adat (ada pula yang menyatukannya dengan sistem budaya), sistem agama,
sistem keamanan, serta sistem perilaku (terdapat kalangan yang tidak
menyetujui penyebutan tentang hal ini). Khusus mengenai sistem politik dan
sistem ekonomi sendiri, ada yang menyebutnya sebagai sistem ketatanegaraan
serta sistem moneter.
Mengapa
disebut sistem, karena pada dasarnya terjadi proses pengolahan atas inputguna
menjadi output yang dikehendaki dan, setelah memasuki tingkatan
dampak, akan kembali menjadi sumber input. Dalam konteks tersebut, maka
sistem politik dapat dikatakan merupakan sistem yang mengolah variabel-variabel
yang diperlukan dalam rangka dihasilkannya suatu keputusan, kebijakan, atau
tindakan politik tertentu. Adapun pengolahnya adalah para partisipan yang
aktif dalam sistem politik seperti pemerintah yang berkuasa, parlemen, partai
politik, maupun individu ataupun lembaga yang biasa dikelompokkan menjadi entah
itu kelompok pengawas (oversight group) kelompok penekan (pressure group), atau
kelompok kepentingan (interest group).
Terkait
sistem ekonomi, maka partisipannya adalah pemerintah itu sendiri, parlemen,
komisi persaingan usaha, pasar, asosiasi-asosiasi terkait berbagai bidang usaha
dan usahawan, pemodal, maupun masyarakat konsumen itu sendiri. Mereka
berinteraksi dalam suatu sistem ekonomi dan menghasilkan keluaran berupa.
Terkait
sistem hukum, yang dilihat adalah berbagai proses dan interaksi dalam rangka
pembentukan, evaluasi, dan penerapan hukum seiring dengan niatan melakukan
kriminalisasi atau dekriminalisasi terkait perilaku tertentu. Hal tersebut
dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian,
berbagai komisi yang terkait dengan hukum, parlemen, media massa, serta
masyarakat sendiri selaku subjek hukum.
Tentu
saja, dalam rangka pergulatan atau interaksi dalam ketiga sistem tersebut,
selalu akan terjadi situasi menang-kalah, berhasil-gagal, terpenuhi-tidak
terpenuhinya aspirasi serta kepentingannya, dilanjutkan dengan timbulnya
perasaan seperti senang-sedih, jengkel-bangga, dan sebagainya. Meskipun
demikian, apabila yang muncul justru perasaan sebagai korban (felt victimized),
maka ada kemungkinan proses atau interaksi dalam sistem tersebut sebenarnya
berlangsung tidak transparan (sehingga banyak hal menjadi tidak terbuka),
curang, tidak etis, tidak adil atau diskriminatif, ataupun telah direkayasa
agar berakhir dengan hasil tertentu yang dikehendaki.
Kejahatan Terhadap Penyimpangan
Kejahatan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu sebagai pelanggaran terhadap hukum pidana atau hukum lainnya yang ditetapkan oleh negara, dan secara sosiologis kejahatan dipandang sebagai setiap tindakan yang dianggap melukai secara sosial dan yang dipidana oleh negara apa pun bentuk pidananya. Para kriminolog menganggap pendefinisian kejahatan tidak hanya dalam pengertian hukum saja, tetapi lebih luas lagi yaitu sebagai setiap tindakan yang dapat dipidana oleh negara, terlepas apakah pinada kejahatan atau administrasi atau umum.
Para kriminolog membedakan antara kejahatan hukum adat/kejahatan konvensional (Common law Crime), kejahatan kerah putih (white collar crime dan kejahatan remaja (adolescent crime). Cammen lan corine adalah kejahatan yagn dianggap oleh semua orang sbagai kejahatan misalnya pembunuhan, perkosaan, perampokan, dan penyerangan. Sedangkan Occupational crime/white collar crime adalah kejahatan umum oleh orang-orang dari kalangan bisnis, pekerja, politikus, dan lain-lain dalam hubungannya dengan okopasi (pekerjaan) mereka. Pelaku kejahatan yang berusia di bawah 18 tahun biasanya dianggap sebagai seorang juvenile delinquent, bukan penjahat. Pelanggaran yang mereka lakukan berkisar sekitar ketidakdisiplinan, lari dari Rumah dan membolos sekolah.
Kejahatan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu sebagai pelanggaran terhadap hukum pidana atau hukum lainnya yang ditetapkan oleh negara, dan secara sosiologis kejahatan dipandang sebagai setiap tindakan yang dianggap melukai secara sosial dan yang dipidana oleh negara apa pun bentuk pidananya. Para kriminolog menganggap pendefinisian kejahatan tidak hanya dalam pengertian hukum saja, tetapi lebih luas lagi yaitu sebagai setiap tindakan yang dapat dipidana oleh negara, terlepas apakah pinada kejahatan atau administrasi atau umum.
Para kriminolog membedakan antara kejahatan hukum adat/kejahatan konvensional (Common law Crime), kejahatan kerah putih (white collar crime dan kejahatan remaja (adolescent crime). Cammen lan corine adalah kejahatan yagn dianggap oleh semua orang sbagai kejahatan misalnya pembunuhan, perkosaan, perampokan, dan penyerangan. Sedangkan Occupational crime/white collar crime adalah kejahatan umum oleh orang-orang dari kalangan bisnis, pekerja, politikus, dan lain-lain dalam hubungannya dengan okopasi (pekerjaan) mereka. Pelaku kejahatan yang berusia di bawah 18 tahun biasanya dianggap sebagai seorang juvenile delinquent, bukan penjahat. Pelanggaran yang mereka lakukan berkisar sekitar ketidakdisiplinan, lari dari Rumah dan membolos sekolah.
Korupsi merupakan salah satu pelanggaran kejahatan yang
di lakukan oleh pemerintah
korupsi merupakan salah satu elemen yang turut memberikan
kontribusi bagi terjadinya keterbelakangan dan buruknya kinerja ekonomi Indonesia,
sekaligus merupakan salah satu penghambat utama bagi pembangunan dan upaya
pengentasan kemiskinan.
a. Faktor Penyebab Korupsi
Faktor penyebab korupsi yang paling
signifikan di daerah adalah faktor politik dan kekuasaan, dalam arti bahwa
korupsi di daerah paling banyak dilakukan oleh para pemegang kekuasaan
(eksekutif maupun legislatif) yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan
yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan
kelompok dan golongannya.
Faktor yang kedua adalah faktor ekonomi.
Faktor ekonomi ini tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan faktor
politik dan kekuasaan. Alasannya pun cenderung masih konvensional, yaitu tidak
seimbangnya penghasilan dengan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.
Faktor yang ketiga adalah nepotisme. Masih
kentalnya semangat nepotisme, baik di sektor publik maupun swasta, di
daerah-daerah terutama dalam penempatan posisi yang strategis tidak jarang
kemudian menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, terutama yang bersangkut paut
dengan keuangan negara.
Faktor yang terakhir adalah faktor pengawasan. Lemahnya
fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga, seperti BPKP maupun
Bawasda terhadap penggunaan keuangan negara oleh pejabat-pejabat publik (eksekutif
maupun legislatif) merupakan salah satu faktor penting yang turut
menumbuh-suburkan budaya korupsi di daerah-daereah. Fungsi kontrol yang
semestinya dijalankan oleh lembaga legislatif pun pada kenyataannya seringkali
tidak efektif, yang disebabkan karena lembaga legislatif itu sendiri pun
seringkali terlibat dalam penyimpangan dan penyalahgunaan keuangan negara yang
dilakukan oleh eksekutif.
b. Masalah-Masalah Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi
UNODC (United Nations Office on Drugs
and Crime—Kantor PBB Untuk Masalah Obat-Obatan Terlarang dan Tindak Kejahatan)
mengemukakan bahwa setidak-tidaknya ada empat kendala atau “berita buruk” (bad
news) bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia, termasuk
di Indonesia dan daerah-daerah. Berita buruk yang pertama adalah kurangnya dana
yang diinvestasikan pemerintah untuk program pemberantasan korupsi. Berita
buruk yang kedua adalah kurangnya bantuan yang diberikan oleh negara-negara
donor bagi program pemberantasan korupsi.
Berita buruk yang ketiga adalah kurangnya pengetahuan dan
pengalaman aparat-aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Dan, berita
buruk yang keempat adalah rendahnya insentif dan gaji para pejabat
publik.Diluar masalah-masalah di atas, ada pula beberapa hal lain yang turut
menghambat upaya pemberantasan korupsi di daerah. Diantara kelemahan-kelemahan
tersebut adalah: (i) tidak jelasnya pembagian kewenangan antara jaksa, polisi
dan KPK dan tidak adanya prinsip pembuktian terbalik dalam kasus korupsi; (ii)
lemahnya dan tidak jelasnya mekanisme perlindungan saksi, sehingga seseorang
yang dianggap mengetahui bahwa ada penyelewengan di bidang keuangan tidak
bersedia untuk dijadikan saksi/memberikan kesaksian.Hambatan yang kedua
berkaitan dengan kurangnya transparansi lembaga eksekutif dan legislatif
terhadap berbagai penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Mekanisme
pemeriksaan terhadap pejabat–pejabat eksekutif dan legislatif juga terkesan
sangat birokratis, terutama apabila menyangkut izin pemeriksaan terhadap
pejabat-pejabat yang terindikasi korupsi. Hambatan yang ketiga berkaitan dengan
integritas moral aparat penegak hukum serta ketersediaan sarana dan prasarana
penunjang keberhasilan mereka dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi.
Hambatan yang keempat berkaitan dengan masalah kultur/budaya, dimana sebagian
masyarakat telah memandang korupsi sebagai sesuatu yang lazim dilakukan secara
turun-temurun, disamping masih kuatnya budaya enggan untuk menerapkan budaya
malu.
c. Cara Menanggulangi Korupsi Menurut saya :
Proses penegakan hukum oleh aparat penegak
hukum (polisi, jaksa dan hakim), khususnya berkenaan dengan perkara korupsi di
daerah-daerah dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Menurut saya untuk mengatasi
permasalahan tersebut, bahwa setidak-tidaknya ada empat strategi yang dapat
diterapkan untuk mengurangi intensitas korupsi di daerah, yaitu:
1. Memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan
proses birokrasi yang bernuansa primordial di kalangan penentu kebijakan, baik
itu yang berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sehingga
tata kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu
benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan profesional serta
dilaksanakan dengan pertimbangan profesionalisme dan integritas moral yang
tinggi;
2. Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara
tegas, adil dan konsekuen tanpa ada diskriminasi bagi para pelaku korupsi, dalam
arti bahwa prinsip-prinsip negara hukum benar-benar harus diterapkan secara
tegas dan konsekuen, terutama prinsip equality before the law;
3. Para penentu kebijakan, baik di bidang
pemerintahan maupun di bidang penegakan hukum harus memiliki kesamaan visi,
profesionalisme, komitmen, tanggungjawab dan integritas moral yang tinggi dalam
menyelesaikan kasus-kasus korupsi